Surabaya, Radarkasusnews.com - Dugaan praktik pungutan liar (pungli) kembali mengemuka dari jantung pelayanan publik di Kota Surabaya. Kali ini, sorotan tajam mengarah ke Samsat Manyar Surabaya Timur. Di kantor yang seharusnya menjadi representasi negara dalam pelayanan pajak dan administrasi kendaraan itu, justru menguap praktik pungli dan percaloan yang diduga terstruktur, sistematis, dan berlangsung lama.
Samsat yang beralamat di Jalan Manyar Kertoarjo No. 1 itu berada di bawah koordinasi Pamin 2, Ipda Herdian, dan Paur, AKP Azie. Namun, berdasarkan kesaksian sejumlah pemohon yang dihimpun tim KasusNews.com di lokasi, Senin (14/7/25), justru mereka merasa dipersulit ketika mengikuti jalur resmi pelayanan.
“Sudah ikut prosedur resmi, malah dipingpong. Disuruh bolak-balik, terakhir diarahkan ke calo juga,” ujar seorang pemohon. Ia mengaku gagal melakukan cek fisik kendaraan karena tidak membawa unit truk secara langsung. Tak berselang lama, datang seorang pria yang mengaku bisa “membantu” dengan tarif Rp250.000 tanpa kuitansi. Dalam waktu kurang dari sejam, berkasnya selesai - lengkap dengan stempel resmi.
Padahal, sesuai dengan PP Nomor 60 Tahun 2016 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), biaya cek fisik kendaraan tidak dikenakan tarif sepeser pun.
Namun, kenyataan di lapangan berbicara lain. Tak sedikit pemohon mengaku harus membayar antara Rp250.000 hingga Rp1.500.000 tergantung jenis kendaraan dan kesulitan teknis. Pemohon lain bahkan dikenakan biaya Rp375.000 hanya karena mengurus kendaraan atas nama orang lain meski sudah membawa surat kuasa bermaterai.
Yang lebih mencengangkan, berdasarkan penelusuran tim redaksi, praktik ini diduga melibatkan jaringan internal Samsat itu sendiri. Seorang pegawai dari Jasa Raharja yang enggan disebut namanya menyebut bahwa pola seperti ini sudah menjadi rahasia umum di internal.
“Kalau ingin cepat, biasanya diarahkan ke PAUR. Yang ngatur alur dan percepatan berkas ada inisial ‘S’. Tarifnya beda-beda, tergantung apakah ada KTP atau tidak,” ungkapnya.
Dari data lapangan yang dikumpulkan KasusNews.com, kendaraan roda dua tanpa KTP dikenai tarif Rp325.000, dan roda empat tanpa KTP bisa mencapai Rp625.000. Diduga kuat, setiap berkas yang dilayani melalui jalur belakang dikenai “jatah setoran” internal sebesar Rp25.000.
Ketua Umum LSM GEMPAR, Sulistyanto alias Bang Tyo, menyebut praktik ini sebagai bentuk kejahatan birokrasi yang mengkhianati amanat konstitusi. “Ini bukan lagi pungli biasa. Ini negara yang secara diam-diam ikut memeras rakyatnya. Sistem pelayanan sudah rusak total,” ujar Bang Tyo kepada KasusNews.com.
Ia juga meminta agar Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dan Kapolda Jawa Timur turun langsung mengusut tuntas jaringan percaloan dan pungli ini. “Jika aparat hanya diam, publik akan menganggap bahwa praktik ini bukan hanya diketahui, tapi juga dilindungi,” tegasnya.
Dari aspek hukum, praktik seperti ini dapat dijerat dengan Pasal 423 KUHP, yang menyebut bahwa penyalahgunaan jabatan untuk memaksa seseorang memberikan pembayaran dapat dikenakan pidana penjara maksimal 6 tahun.
Selain itu, praktik ini juga dapat dikenai Pasal 12 huruf e UU Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan bahwa setiap pegawai negeri atau penyelenggara negara yang memaksa seseorang memberi sesuatu karena jabatannya, diancam pidana penjara maksimal 20 tahun dan denda hingga Rp1 miliar.
Sampai berita ini dipublikasikan, upaya konfirmasi yang dilayangkan redaksi kepada pihak Pamin dan Paur Samsat Manyar melalui pesan singkat belum mendapat tanggapan. Redaksi juga masih mencoba menghubungi pihak-pihak terkait untuk memperoleh klarifikasi resmi.
KasusNews.com menegaskan bahwa praktik pemalakan berseragam ini bukan hanya merusak citra lembaga negara, tetapi juga menusuk kepercayaan publik dari dalam. Jika dibiarkan, keadilan bukan lagi sesuatu yang diperjuangkan lewat hukum, melainkan dibeli melalui jalur belakang dan amplop lusuh di kantin petugas.
Negara tidak boleh menjadi calo berwajah legal. Jika sistem rusak dibiarkan, jangan salahkan rakyat bila esok hari menempuh jalannya sendiri demi mencari keadilan yang telah lama digadaikan oleh aparatnya sendiri.
Penulis Erlangga